Sabtu, 17 Juni 2017

Strategi Pengembangan Agribisnis Sebagai Suatu Keniscayaan (Sektor Pertanian)

Nama: Humara Mahira
NPM: 23216324
Kelas: 1EB04
Dosen: Maulana Syarif Hidayatullah, SEI. MEI

            Assalamualaikum Wr. Wb. Hai semuanya kali ini saya akan berkesempatan untuk menganalisis Ekonomi Sektor Pertanian di Indonesia bagian strategi pengembangan agribisnis sebagai suatu keniscayaan, namun sebelum saya mengupas aspek tersebut saya akan memberikan pengetahuan umum tentang peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian.
Sektor Pertanian
Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Sektor ini merupakan sektor yang tidak mendapatkan perhatian secara serius dari pemerintah dalam pembangunan bangsa. Mulai dari proteksi, kredit hingga kebijakan lain tidak satu pun yang menguntungkan bagi sektor ini. Program-program pembangunan pertanian yang tidak terarah tujuannya bahkan semakin menjerumuskan sektor ini pada kehancuran. Meski demikian sektor ini merupakan sektor yang sangat banyak menampung luapan tenaga kerja dan sebagian besar penduduk kita tergantung padanya.
 Sektor pertanian merupakan sektor yang mendapatkan perhatian cukup besar dari pemerintah dikarenakan peranannya yang sangat penting dalam rangka pembangunan ekonomi jangka panjang maupun dalam rangka pemulihan ekonomi bangsa.
Peranan sektor pertanian adalah sebagai sumber penghasil bahan kebutuhan pokok, sandang dan papan, menyediakan lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk, memberikan sumbangan terhadap pendapatan nasional yang tinggi, memberikan devisa bagi negara dan mempunyai efek pengganda ekonomi yang tinggi dengan rendahnya ketergantungan terhadap impor (multiplier effect), yaitu keterkaitan input-output antar industri, konsumsi dan investasi. Dampak pengganda tersebut relatif besar, sehingga sektor pertanian layak dijadikan sebagai sektor andalan dalam pembangunan ekonomi nasional. Sektor pertanian juga dapat menjadi basis dalam mengembangkan kegiatan ekonomi perdesaan melalui pengembangan usaha berbasis pertanian yaitu agribisnis dan agroindustri. Dengan pertumbuhan yang terus positif secara konsisten, sektor pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertanian adalah kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang dilakukan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, atau sumber energi, serta untuk mengelola lingkungan hidupnya. Kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati yang termasuk dalam pertanian biasa dipahami orang sebagai budidaya tanaman atau bercocok tanam (bahasa Inggris: crop cultivation) serta pembesaran hewan ternak (raising), meskipun cakupannya dapat pula berupa pemanfaatan mikroorganisme dan bioenzim dalam pengolahan produk lanjutan, seperti pembuatan keju dan tempe, atau sekadar ekstraksi semata, seperti penangkapan ikan atau eksploitasi hutan.

Sektor-sektor yang bergerak lewat pertanian.
Sektor pertanian terdiri atas:

Tanaman pangan
1. - Tanaman Palawija
Bi biasanya palawija berupa tanaman kacang-kacangan, serealia selain padi (seperti jagung), dan umbi-umbian semusim (ketela pohon dan ubi jalar).

Padi
Keanekaragaman budidaya:
-    - Padi gogo
-    - Padi rawa

Beberapa masalah dalam produksi palawija :
-   - Rendahnya produktivitas lahan.
-   - Rendahnya tingkat penggunaan lahan.
-   - Benih atau bibit masih bersifat lokal.
-   - Pengelolaan yang masih tradisional.
-   - Tingginya tingkat susutan pasca panen.

2.   Perkebunan
-    - Perkebunan rakyat.
-    - Perkebunan besar.

Pengusahaan tanaman perkebunan tersebut berlangsung dualistis, yaitu :
- Diselenggarakan rakyat secara perorangan.
-  Diselenggarakan oleh perusahaan perkebunan (pemerintah atau swasta).

3.   Kehutanan
SUB SEKTOR KEHUTANAN
-          Penebangan kayu
-          Pengambilan hasil hutan lain
-          Perburuan
Hutan berdasarkan tata guna :
1.      Hutan lindung.
2.      Suaka alam dan hutan wisata.
3.      Hutan produksi terbatas.
4.      Hutan produksi tetap.
5.      Hutan produksi yang dapat dikonversi.

4.   Peternakan
BPS dalam melakukan perhitungan produksi pada sektor ini didasarkan pada :
–        - Data pemotongan.
–        - Selisih stok atau perubahan
–        - populasi.
–        - Ekspor netto.

5.  Perikanan
Faktor penyebab lambannya pertumbuhan sub sektor ini :
-  Sarana yang kurang memadai
-  Larangan mengoperasikan pukat harimau (trawl).
-  Adanya pencurian ikan secara besar-besaran oleh kapal asing tanpa berhasil ditangkap oleh satuan patroli pantai perairan Indonesia.
- Berkaitan dengan perikanan darat khususnya udang, yaitu rendahnya produktivitas lahan udang.

Strategi Pengembangan Agribisnis Sebagai Suatu Keniscayaan

·         Pendahuluan
Agribisnis sebagai sebuah sistem dan budaya baru mengelola basis sumber daya alam telah dikenal di Indonesia sejak akhir 1970-an. Namun, karena esensi utama suatu sistem agribisnis sebagai keterkaitan seluruh  komponen dan subsistem agribisnis, maka tidaklah mudah untuk merumuskan suatu strategi pengembangan yang ter integrasi, apalagi dengan faktor eksternal yang sukar sekali dikendalikan. Perumusan strategi pengembangan agribisnis menjadi tantangan tersendiri, walaupun segenap pejuang agribisnis telah meyakini sebagai suatu keniscayaan saja.

·         Esensi Sistem Agribisnis
Strategi pengembangan agribisnis bukan semata-mata persoalan manajemen bisnis di tingkat mikro, namum sangat berkait dengan formasi kebijakan di tingkat makro dan kemampuan mensiasati dan menemukan terobosan strategi di tingkat entrepreneur. Keterpaduan formasi makro-mikro ini amat diperlukan mengingat agribisnis adalah suatu rangkaian sistem usaha berbasis pertanian dan sumberdaya lain, dari hulu sampai hilir. Agribisnis mencakup subsistem sarana produksi atau bahan baku hulu, proses produksi biologis di tingkat bisnis atau usaha tani, aktivitas transformasi berbagai fungsi bentuk (pengolahan), waktu (penyimpanan atau pengawetan), dan tempat (pergudangan) di tengah, serta pemasaran dan perdagangan di hilir, dan subsistem pendukung lain seperti jasa, permodalan, perbankan, dan sebagainya. Memilah-milah suatu sistem agribisnis dalam satuan yang terpisah hanya akan menimbulkan gangguan serius dalam seluruh rangkaian yang ada.
Sikap resmi pemerintah Indonesia tentang strategi pembangunan pertanian yang berwawasan agribisnis adalah upaya sistemik yang dipandang ampuh untuk mencapai beberapa tujuan, antara lain
a.       Menarik dan mendorong sektor pertanian
b.      Menciptakan struktur perekonomian yang tangguh
c.       Menciptakan nilai tambah
d.      Meningkatkan penerimaan devisa
e.       Menciptakan lapangan kerja
f.       Memperbaiki pembagian pendapatan
Sedang beberapa faktor strategic yang terkait dengan keandalan tatanan agribisnis dan          agroindustri adalah
a.       Lingkungan strategik
b.      Tingkat permintaan
c.       Sumberdaya
d.      Ilmu dan teknologi
Dalam prespektif ketahanan pangan, Garis-garis besar Haluan Negara (GBHN) juga telah mengamanatkan pemerintah untuk melaksanakan “Pengembangan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumberdaya bahan pangan, kelembagaan local, dalam rangka menjamin tersedianya pangan dan nutrisi dalam jumlah dan mutu yang dibutuhkan, pada tingkat harga yang terjangkau dengan memperhatikan peningkatan pendapatan petani”. Dari sini muncul strategi bahwa pengembangan ketahanan pangan perlu diupayakan melalui sistem dan usaha agribisnis di bidang pangan yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi.

·        Karakter Komoditas Agribisnis
Beberapa karakteristik penting komoditas pertanian dan basis sumberdaya alam lain diuraikan sebagai berikut:
Pertama, bersifat musiman. Komoditas agribisnis dihasilkan melalui proses biologis yang sangat bergantung pada iklim dan alam. Karakteristik tersebut menyebabkan volume produksi berfluktuasi antarmusim, terutama antara musim panen dan musim tanam (paceklik). Pada musim panen suplai produk melimpah, sehingga apabila apabila permintaan konstan, maka harga akan turun. Sedangkan pada musim tanam atau paceklik, suplai produk pertanian amat terbatas, sehingga pada tingkat permintaan yang konstan, harga akan melambung tinggi.
Kedua, mudah rusak.Komoditas agribisnis umumnya dihasilkan dalam bentuk segar yang siap untuk dikonsumsi dan/atau diolah lebih lanjut. Apabila tidak segera dikonsumsi, maka volume dan mutu produk akan cepat menurun seiring dengan bertambahnya waktu. Akibatnya, nilai ekonomi komoditas agribisnis cepat anjlok, bahkan tidak berharga sama sekali, dan menjadi sumber kerugian terbesar bagi produsen (petani).
Ketiga, makan tempat atau amba.Komoditas agribisnis umumnya bermassa besar dan makan tempat alias amba, walaupun mungkin bobotnya ringan. Subsistem pemasaran dalam agribisnis amat bergantung pada kepiawaian pelaku ekonomi dalam mengelola karakteristik amba ini. Dalam subsistem agribisnis, aktivitas transportasi dan penyimpanan bahkan dapat menjadi amat krusial dalam menentukan tingkat kesejahteraan seluruh pelaku agribisnis. Apabila pelaku ekonomi tidak memiliki akses dan tidak mampu menggapai biaya-biaya dalam subsistem transportasi dan penyimpanan tersebut, maka aktivitas pemasaran menjadi tidak efisien dan tidak membawa manfaat bagi pengembangan agribisnis selanjutnya.
Keempat, amat beragam.Volume dan mutu komoditas agribisnis amat beragam antarwaktu dan antardaerah atau antarsentra produksi. Faktor genetic dan faktor lingkungan mungkin amat menonjolon dalam keberagaman tersebut. Akan tetapi, faktor penguasaan teknologi juga turut menentukan tingkat keberagaman volume dan mutu produk pertanian di beberapa tempat dan waktu tertentu. Karakteristik ini sangat menentukan besarnya biaya transaksi yang meliputi biaya informasi, biaya negosiasi, dan pengamanan kontrak. Semakin besar variabilitas dalam mutu dan produk, maka akan semakin mahal dan sukar terjangkau para pelaku ekonomi.
Kelima, transmisi harga rendah. Komoditas agribisnis memiliki elastisitas transmisi harga yang rendah dan kadang searah. Kenaikan harga komoditas agribisnis di tingkat konsumen tidak serta-merta dapat meningkatkan harga di tingkat petani produsen. Namun sebaliknya, penurunan harga di tingkat konsumen umumnya lebih cepat di transmisikan kepada harga ditingkat pertanian produsen.
Keenam, struktur pasar monopsonis. Komoditas agribisnis umumnya harus menghadapi struktur pasar yang monopsis dan jau dari prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Petani produsen senantiasa dihadapkan dengan kekuatan pembeli, yang terdiri dari pedagang pengumpul dan pedagang besar, yang cukup besar dan membentuk satu kekuasaan yang dapat “menentukan”harga beli. Ketidakmampuan petani produsen dan kepiawaian pelaku pemasaran lain dalam menguasai asset dan akses ekonomi dalam proses produksi dan pemasaran komoditas agribisnis merupakan salah satu faktor ekonomi yang terpenting.

·         Kesimpulan
Meskipun menurut para pejuang agribisnis telah meyakini bahwa strategi pengembangan agribisnis hanya suatu keniscayaan saja, hal ini dapat dipertimbangkan apabila para pelaku agribisnis dan petani mengerti arti berdaya saing, bahwa bahan pangan harus memenuhi kaidah-kaidah efisiensi, sehingga usaha agribisnis pangan mampu meningkatkan pendapatan petani/peternak/nelayan produsen, yang sekaligus juga terjangkau oleh konsumen. Dan juga para pelaku agribisnis dan petani harus memperhatikan betul tiap-tiap karakteristik komoditas agribisnis satu per satu agar dapat memajukan ekonomi Indonesia di sektor pertanian ini.

Daftar Pustaka:
Buku:
DR. Bustanul Arifin (2004); Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia; Penerbit buku Kompas, Jakarta.

Minggu, 16 April 2017

Kemiskinan dan Kesenjangan

PEREKONOMIAN INDONESIA
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN




Disusun Oleh :
1.      Humara Mahira                    (23216324)
2.      Maharani Kirana Dewi        (24216217)
3.      Piety Nindya Nindita            (25216759)

Kelas : 1EB04




FAKULTAS EKONOMI JURUSAN
AKUNTANSI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2017
KEMISKINAN DAN KESENJANGAN
1.      KONSEP DAN PENGERTIAN KEMISKINAN
A. KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga kedimensi sosial, kesehatan, pendidikan dan politik. Menurut Badan Pusat Statistik, kemiskinan adalah ketidakmampuan memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang meliputi kebutuhan makan maupun non makan.
Indikator Kemiskinan Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan, yang semuanya berada dalam lingkungan dimensi ekonomi (Nanga, 2006).
Membandingkan tingkat konsumsi penduduk dengan garis kemiskinan atau jumlah rupiah untuk konsumsi orang perbulan. Definisi menurut UNDP dalam Cahyat (2004), adalah ketidakmampuan untuk memperluas pilihan-pilihan hidup, antara lain dengan memasukkan penilaian tidak adanya partisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sebagai salah satu indikator kemiskinan. Pada dasarnya definisi kemiskinan dapat dilihat dari dua sisi, yaitu:
1)     Kemiskinan Absolut
      Kemiskinan yang dikaitkan dengan perkiraan tingkat pendapatan dan kebutuhan yang hanya dibatasi pada kebutuhan pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memungkinkan seseorang untuk hidup secara layak. Dengan demikian kemiskinan diukur dengan membandingkan tingkat pendapatan orang dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya yakni makanan, pakaian dan perumahan agar dapat menjamin kelangsungan hidupnya.
2)     Kemiskinan Relatif
       Kemiskinan dilihat dari aspek ketimpangan sosial, karena ada orang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar minimumnya tetapi masih jauh lebih rendah dibanding masyarakat sekitarnya (lingkungannya). Semakin besar ketimpangan antara tingkat penghidupan golongan atas dan golongan bawah maka akan semakin besar pula jumlah penduduk yang dapat dikategorikan miskin, sehingga kemiskinan relatif erat hubungannya dengan masalah distribusi pendapatan.

  B.   PENGERTIAN KEMISKINAN
Dalam perkembangan dunia yang semakin mengglobal dan tidak mengenal antara ruang dan waktu sehingga tidak mudah untuk membangun jaringan yang tepat dalam pengentasan kemiskinan karena pengaruh antarnegara saling berkaitan. Konsep kemiskinan pada zaman perang akan berbeda dengan konsep kemiskinan pada zaman merdeka dan modern sekarang ini. Seseorang dikatakan miskin atau tidak miskin pada zaman penjajahan dahulu akan berbeda dengan saat ini. Demikian juga dari sisi tempat, konsep kemiskinan di negara maju tentulah berbeda dengan konsep kemiskinan di negara berkembang dan terbelakang. Mungkin keluarga yang tidak memiliki televisi atau kulkas, seseorang yang tidak dapat membayar asuransi kesehatan, anak-anak yang bermain tanpa alas kaki, seseorang yang tidak memiliki telepon genggam, akses internet, dan lainnya di negara-negara Eropa dapat dikatakan miskin. Namun tidak demikian di negara kurang berkembang seperti negara-negara di Afrika.
Kemiskinan di sebagian negara justru ditandai dengan kelaparan, kekurangan gizi, ketiadaan tempat tinggal, mengemis, tidak dapat sekolah, tidak punya akses air bersih, dan listrik. Definisi kemiskinan biasanya sangat bergantung dari sudut mana konsep tersebut dipandang. Contoh riil di lapangan konsep kemiskinan antara Pulau Jawa tidak sama 2 Kemiskinan: Isu, Paradigma, dan Kebijakan dengan Pulau Kalimantan begitu pula dengan Pulau Sumatra, Pulau Bali dan Nusa Tenggara, serta Papua dan Pulau Sulawesi indikatornya sama tetapi sudut pandang sangat jauh berbeda. Bank Dunia mendefinisikan bahwa kemiskinan berkenaan dengan ketiadaan tempat tinggal, kalau sakit dan tidak mampu untuk berobat ke dokter, tidak mampu untuk sekolah dan tidak tahu baca tulis.
Kemiskinan adalah bila tidak memiliki pekerjaan sehingga takut menatap masa depan, tidak memiliki akses akan sumber air bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, kurangnya representasi dan kebebasan. Lebih sederhana, Bank Dunia (2000) mengartikan bahwa kemiskinan adalah kekurangan, yang sering diukur dengan tingkat kesejahteraan yang dimiliki. Kemiskinan biasanya dide inisikan sebagai sejauh       mana suatu individu berada di bawah tingkat standar layak hidup minimal yang dapat diterima oleh masyarakat atau komunitasnya. Marianti dan Munawar (2006) berpendapat bahwa kemiskinan merupakan fenomena multidimensi, dide inisikan, dan diukur dalam banyak cara. Dalam banyak kasus, kemiskinan telah diukur dengan terminologi kesejahteraan yang berkaitan dengan ekonomi, seperti pendapatan dan konsumsi. Seseorang dikatakan miskin bila ia berada di bawah tingkat kesejahteraan minimum tertentu yang telah disepakati. Niemietz (2011) menyatakan bahwa kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk membeli barangbarang kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, papan, dan obat-obatan.
Para ahli membuat pengertian kemiskinan dengan berbagai cara. Kemiskinan dapat berupa gambaran kekurangan dari sisi materi, kebutuhan akan diukur dengan sosial yang berkembang di masyarakat, pendapatan, akses terhadap sumber-sumber tertentu, dan lainnya. Berbagai teori telah dikembangkan dalam upaya untuk memahami aspekaspek yang menentukan terjadinya kemiskinan secara lebih mendalam. Keanekaragaman teori yang telah dikembangkan itu menggambarkan adanya perbedaan sudut pandang di antara pemerhati masalah kemiskinan yang selalu menjadi perdebatan hangat di antara mereka. Secara umum teori yang menjelaskan mengapa kemiskinan terjadi, dibedakan menjadi teori yang berbasis pada pendekatan ekonomi dan sosio-antropologis (nonekonomi), khususnya tentang budaya yang berlaku di masyarakat.       
Untuk mengubahnya. Kondisi ini terlihat jelas pada kerajaan zaman dahulu. Seperti kehidupan para abdi kerajaan dengan sepenuh hati mengabdi meski tanpa gaji (yang memadai) karena itu diyakini merupakan sebuah takdir dan kebanggaan tersendiri, atau mungkin karena alasan lainnya. Kemiskinan juga dapat dilihat dari standar hidup layak, artinya kita melihat apakah seseorang atau suatu keluarga mampu memenuhi kebutuhan pokoknya. Lebih lanjut diartikan bahwa kemiskinan adalah kondisi di mana tidak terpenuhinya kebutuhan pokok sehingga standar hidup layak tidak tercapai. Kemiskinan seperti ini sering disebut dengan kemiskinan absolut. Kebutuhan pokok yang dimaksud akan terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.
Di beberapa negara tertinggal seperti di kawasan Afrika, kebutuhan yang paling mendasar adalah pangan, sandang, dan papan, sedangkan di negara berkembang sebagian telah menambahkan pendidikan dan kesehatan sebagai bagian dari kebutuhan dasar. Di negara maju, kebutuhan dasar tidak hanya sebatas itu, tetapi sebagian telah memasukkan hiburan (seperti kepemilikan televisi, telepon, dan internet) dan rekreasi. Kualitasnya juga berbeda antarkelompok negara. Semakin maju suatu negara maka kebutuhan dasarnya semakin kompleks dengan standar kualitas yang semakin tinggi pula. Studi sosiologis tentang kemiskinan diawali oleh Charles Both dan B. Seebohm Rowntree (Townsend, 1954), mengatakan bahwa: (1) keluarga yang pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan minimum.
C.    GARIS KEMISKINAN
   Pengukuran tingkat kemiskinan di Indonesia pertama kali secara resmi dipublikasikan BPS pada tahun 1984 yang mencakup data kemiskinan periode 1976-1981. Penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut batas miskin atau garis kemiskinan. Berdasarkan hasil Widyakarya Pangan dan Gizi 1978, seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi kebutuhan energinya minimal sebesar 2100 kalori perhari. Mengacu pada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan energinya sebesar 2100 kalori perhari.
 Agar seseorang dapat hidup layak, pemenuhan akan kebutuhan makanan saja tidak akan cukup, oleh karena itu perlu pula dipenuhi kebutuhan dasar bukan makanan, seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta aneka barang dan jasa lainnya. Ringkasnya, garis kemiskinan terdiri atas dua komponen, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan (BPS, 2007).
  Salah satu cara mengukur kemiskinan yang diterapkan di Indonesia yakni mengukur derajat ketimpangan pendapatan diantara masyarakat miskin, seperti koefisien Gini antar masyarakat miskin (GP) atau koefisien variasi pendapatan (CV) antar masyarakat miskin (CVP). Koefisien Gini atau CV antar masyarakat miskin tersebut penting diketahui karena dampak guncangan perekonomian pada kemiskinan dapat sangat berbeda tergantung pada tingkat dan distribusi sumber daya diantara masyarkat miskin.
   Dua indeks kemiskinan yang sangat sering digunakan karena memenuhi empat kriteria tersebut adalah Indeks Send dan Indeks Foster-Greer-Thorbecke (FGT) (P alpa). UNDP selain mengukur kemiskinan dengan parameter pendapatan pada tahun 1997 memperkenalkan apa yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) (Human Poverty Indeks-HPI) atau biasa juga disebut Indeks Pembangunan Manuisia (Human Development Indeks-HDI), yakni bahwa kemiskinan harus diukur dalam satuan hilangnya tiga hal utama (theree key deprivations), yaitu kehidupan, pendidikan dan ketetapan ekonomi.
D. PENYEBAB DAN DAMPAK KEMISKINAN
Menurut Todaro (1997) menyatakan bahwa variasi kemiskinan dinegara berkembang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
(1)   Perbedaan geografis, jumlah penduduk dan tingkat pendapatan,
(2)   Perbedaan sejarah, sebagian dijajah oleh Negara yang berlainan,
(3)   Perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas sumber daya manusianya,
(4)   Perbedaan peranan sektor swasta dan negara,
(5)   Perbedaan struktur industri,
(6)   Perbedaan derajat ketergantungan pada kekuatan ekonomi dan politik negara lain dan
(7) Perbedaan pembagian kekuasaan, struktur politik dan kelembagaan dalam negeri. Sedangkan menurut Jhingan (2000), mengemukaan tiga ciri utama Negara berkembang yang menjadi penyebab dan sekaligus akibat yang saling terkait pada kemiskinan.
Penyebab Kemiskinan Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
1)    Penyebab Individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2)    Penyebab Keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3)    Penyebab Sub-Budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4)    Penyebab Agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5)    Penyebab Struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.
E. FAKTOR-FAKTOR KEMISKINAN
 Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam dua hal berikut ini :
1.     Faktor Internal (dari dalam diri individu)
Yaitu berupa kekurangmampuan dalam hal :
a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b. Intelektual misalnya kurangnya pengetahuan, kebodohan, kekurangtahuan informasi.
c. Mental emosional misalnya malas, mudah menyerah, putus asa temperamental.
d. Spritual misalnya tidak jujur, penipu, serakah, tidak disiplin.
e. Sosial psikologis misalnya kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi/ stres, kurang relasi, kurang mampu mencari dukungan.
f. Ketrampilan misalnya tidak mempunyai keahlian yang sesuai dengan permintaan lapangan kerja.
g. Asset misalnya tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah, rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2.         Faktor Eksternal (berada di luar diri individu atau keluarga)
Yang menyebabkan terjadinya kemiskinan antara lain :
a. Terbatasnya pelayanan sosial dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usaha-usaha sektor informal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layanan kredit mikro dan tingkat bunga yang tidak mendukung sektor usaha mikro.
e. Belum terciptanya sistim ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pendayagunaan dana sosial masyarakat yang belum optimal seperti zakat.
g. Dampak sosial negatif dari program penyesuaian struktural (structural Adjusment Program/ SAP).
h. Budaya yang kurang mendukung kemajuan dan kesejahteraan.
i. Kondisi geografis yang sulit, tandus, terpencil atau daerah bencana.
j. Pembangunan yang lebih berorientasi fisik material.
k. Pembangunan ekonomi antar daerah yang belum merata.
l. Kebijakan publik yang belum berpihak kepada penduduk miskin.
Pertama, prasarana dan sarana pendidikan yang tidak memadai sehingga menyebabkan tingginya jumlah penduduk buta huruf dan tidak memiliki ketrampilan ataupun keahlian. Ciri kedua, sarana kesehatan dan pola konsumsi buruk sehingga Untuk mengukur kemiskinan, Indonesia melalui BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs) yang dapat diukur dengan angka atau hitungan Indeks Perkepala (Head Count Index), yakni jumlah dan persentase penduduk miskin yang berada di bawah garis kemiskinan.
Analisis faktor-faktor yang menyebabkan kemiskinan atau determinan kemiskinan pernah dilakukan oleh Ikhsan (1999). Ikhsan, membagi faktor-faktor determinan kemiskinan menjadi empat kelompok, yaitu modal sumber daya manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik desa. Modal SDM dalam suatu rumah tangga merupakan faktor yang akan mempangaruhi kemampuan suatu rumah tangga untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan. Dalam hal ini, indikator yang sering digunakan adalah jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, dan jumlah anggota keluarga. Secara umum semakin pendidikan anggota keluarga maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi. Variabel modal fisik, yang antara lain luas lantai perkapita dan kepemilikan asset seperti lahan, khususnya untuk pertanian.
Kepemilikan lahan akan menjadi faktor yang penting mengingat dengan tersedianya lahan produktif, rumah tangga dengan lapangan usaha pertanian akan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih baik. Kepemilikan modal fisik ini dan kemampuan memperoleh pendapatan sebagai tenaga kerja akan menjadi modal utama untuk menghasilkan pendapatan keluarga. Anggota rumah tangga yang tidak memiliki modal fisik terpaksa menerima pekerjaan dengan bayaran yang rendah dan tidak mempunyai alternatif untuk berusaha sendiri. Komponen selanjutnya adalah status pekerjaan, di mana status pekerjaan utama kepala keluarga jelas akan memberikan dampak bagi pola pendapatan rumah tangga.
World Bank (2002) mengkategorikan karakteristik penduduk miskin menurut komunitas, wilayah, rumah tangga, dan individu. Pada faktor komunitas, infrastruktur merupakan determinan utama kemiskinan. Keadaan infrastruktur sangat erat kaitannya dengan tingkat kesejahtaraan masyarakat. Infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi maupun sosial kemasyarakatan, selain itu memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan.
Penyebab Kemiskinan Kemiskinan banyak dihubungkan dengan:
1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.

F. BEBERAPA INDIKATOR KESENJANGAN DAN KEMISKINAN
a.       Indikator Kesenjangan
Ada sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan yang dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan, yakni axiomatic dan stochastic dominance. Yang sering digunakan dalam literatur adalah dari kelompok pendekatan pertama dengan tiga alat ukur, yaitu the generalized entropy (GE), ukuran atkinson, dan koefisien gini.
 Yang paling sering dipakai adalah koefisien gini. Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 : kemerataan sempurna (setiap orang mendapat porsi yang sama dari pendapatan) dan bila 1 : ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan.
 Kurva Lorenz, Kumulatif presentase dari populasi, Yang mempunyai pendapatan Ide dasar dari perhitungan koefisien gini berasal dari kurva lorenz. Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati 1 atau semakin jauh kurva lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan.Ketimpangan dikatakan sangat tinggi apabilai nilai koefisien gini berkisar antara 0,71-1,0. Ketimpangan tinggi dengan nilai koefisien gini 0,5-0,7. Ketimpangan sedang dengan nilai gini antara 0,36-0,49, dan ketimpangan dikatakan rendah dengan koefisien gini antara 0,2-0,35.
Selain alat ukur diatas, cara pengukuran lainnya yang juga umum digunakan, terutama oleh Bank Dunia adalah dengan cara jumlah penduduk dikelompokkan menjadi tiga group : 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah, dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi dari jumlah penduduk.
Selanjutnya, ketidakmerataan pendapatan diukur berdasarkan pendapatan yang dinikmati oleh 40% penduduk dengan pendapatan rendah. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dinyatakan tinggi, apabila 40% penduduk dari kelompok berpendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12% dari jumlah pendapatan. Tingkat ketidakmerataan sedang, apabila kelompok tersebut menerima 12% sampai 17% dari jumlah pendapatan. Sedangkan ketidakmerataan rendah, apabila  kelompok tersebut menerima lebih besar  17 % dari jumlah pendapatan.

b. Indikator Kemiskinan
Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbeda-beda. Ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan (BPS, 1994).
Untuk kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Sedangkan pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa.
Dengan kata lain, BPS menggunakan 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Pendekatan yang pertama merupakan pendekatan yang sering digunakan. Dalam metode BPS, kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Sedangkan Head Count Index merupakan ukuran yang menggunakan kemiskinan absolut. Jumlah penduduk miskin adalah jumlah penduduk yang berada di bawah batas yang disebut garis kemiskinan, yang merupakan nilai rupiah dari kebutuhan minimum makanan dan non makanan. Dengan demikian, garis kemiskinan terdiri dari 2 komponen, yaitu garis kemiskinan makanan (food line) dan garis kemiskinan non makanan (non food line).
Untuk mengukur kemiskinan terdapat 3 indikator yang diperkenalkan oleh Foster dkk (1984) yang sering digunakan dalam banyak studi empiris. Pertama, the incidence of proverty : presentase dari populasi yang hidup di dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi perkapita dibawah garis kemiskinan, indeksnya sering disebut rasio H. Kedua, the dept of proverty yang menggambarkan dalamnya kemiskinan disuatu wilayah yang diukur dengan indeks jarak kemiskinan (IJK), atau dikenal dengan sebutan proverty gap index. Indeks ini mengestimasi jarak/perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis tersebut yang dapat dijelaskan dengan formula sebagai berikut :
Pa = (1 / n) ∑i [(z - yi) / z]a

Indeks Pa ini sensitif terhadap distribusi jika a >1. Bagian [(z - yi) / z] adalah perbedaan antara garis kemiskinan (z) dan tingkat pendapatan dari kelompok keluarga miskin (yi) dalam bentuk suatu presentase dari garis kemiskinan. Sedangkan bagian [(z - yi) / z]a adalah presentase eksponen dari besarnya pendapatan yang tekor, dan kalau dijumlahkan dari semua orang miskin dan dibagi dengan jumlah populasi (n) maka menghasilkan indeks Pa. Ketiga, the severity of property yang diukur dengan indeks keparahan kemiskinan (IKK). Indeks ini pada prinsipnya sama seperti IJK.
 Namun, selain mengukur jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan, IKK juga mengukur ketimpangan di antara penduduk miskin atau penyebaran pengeluaran diantara penduduk miskin. Indeks ini yang juga disebut Distributionally Sensitive Index dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

G. KEMISKINAN DI INDONESIA
            Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita setiap bulan dibawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,59 juta orang (11,66%) berkurang sebesar 0,54 juta orang (0,30%) dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2012 sebesar 29,13 juta orang (11,96%). Adapun pada bulan maret 2013, jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan dibawah garis kemiskinan) di Indonesia mencapai 28,07 juta orang (11,37%) artinya berkurang sebesar 0,52 juta orang dibandingkan jumlah penduduk miskin pada september 2012
            Lebih lanjut mengenai kondisi kemiskinan di Indonesia dapat disimak dalam tabel berikut
Tabel 2.1 Jumlah dan Presentase Penduduk Miskin Menurut Pulau, Maret 2013

Pulau
Jumlah Penuduk Miskin (x1000 orang)
Presentase Penduduk Miskin (%)
Kota
Desa
Kota+Desa
Kota
Desa
Kota+Desa
Sumatera
2.008,33
4.111,09
6.119,42
9,64
12,72
11,51
Jawa
6.996,12
8.365,75
15.361,87
8,84
14,40
10,92
Bali dan Nusa Tenggara
601,31
1.385,60
1.986,91
11,17
16,67
14,51
Kalimantan
247,45
678,21
925,66
4,01
8,12
6,37
Maluku dan Papua
124,05
1.522,87
1.646,92
6,14
31,40
23,97
Indonesia
10.325,53
17.741,03
28.066,56
8,39
14,32
11,37

            Dari tabel diatas tampak bahwa presentase penduduk miskin terbesar berada di Pulau Maluku dan Papua, yaitu sebesar23,97%. Sementara presentase terendah adalah di Pulau Kalimantan yakni 6,73%. Adapun ditinjau dari sisa jumlah, sebagian besar penduduk miskin berdomisili di Pulau Jawa (15,36 juta orang), sedangkan jumlah terkecil ada di Pulau Kalimantan (0,92 juta orang). Selain itu, juga jelas bahwa sebagian besar penduduk makin berada didaerah pedesaan (17,74 juta orang) dan sisanya bermukim di kawasan perkotaan (10,33 juta orang)
H. KEBIJAKAN ANTI KEMISKINAN
          Strategi oleh pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan:
1.      Jangka pendek yaitu membangun sector pertanian, usaha kecil dan ekonomi pedesaan
2.      Jangka menengah dan panjang mencakup:
·         Pembangunan dan penguatan sector swasta
·         Kerjasama regional
·         Manajemen APBN dan administrasi
·         Desentralisasi
·         Pendidikan dan kesehatan
·         Penyediaan air bersih dan pembangunan perkotaan
·         Pembagian tanah pertanian yang merata



Fritz H.S. Damanik, 2014. Sosiologi. Jakarta: PT Bumi Aksara